Ujian Nasional di Mata Pelajar

20.03

Kamis, 11 Februari 2010 | 13:05 WIB
Ujian Nasional di Mata Pelajar
Oleh Daniel Hermawan
Jika selama ini para pakar pendidikan dan guru besar yang menuangkan pendapat seputar pelaksanaan ujian nasional 2010 di media massa, kali ini saya sebagai pelajar akan menuangkan sedikit masukan dan opini seputar pelaksanaan UN 2010.
Tidak dapat dimungkiri, UN masih dijadikan standar kelulusan bagi siswa SMP dan SMA. Meskipun prestasi yang dimiliki baik, jika tidak lulus UN, pelajar tetap harus mengulang di kelas yang sama atau mengikuti ujian kesetaraan Paket B dan C. Sungguh ironis, proses belajar di kelas selama tiga tahun hanya ditentukan berdasarkan lulus UN atau tidak.
Memang ujian kesetaraan Paket B dan C diselenggarakan pemerintah untuk membantu siswa yang tidak lulus UN. Namun, validitas ijazah dari ujian kesetaraan ini masih diragukan. Banyak perguruan tinggi favorit enggan menerima siswa yang memiliki ijazah ujian kesetaraan. Hanya perguruan tinggi negeri biasa yang mau menampung siswa dengan ijazah tersebut.
Berkaca dari pengalaman UN sebelumnya, Mahkamah Agung menetapkan larangan pelaksanaan UN 2010 karena dianggap melanggar hak asasi manusia. Menanggapi hal ini, Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh berupaya agar UN tetap dapat dilaksanakan pada pertengahan Maret. Akhirnya, setelah melalui perundingan dan persetujuan dari berbagai pihak, UN 2010 tetap dilaksanakan dengan beberapa perubahan.
Jika selama ini kelulusan UN ditentukan berdasarkan aspek kognitif saja, sekarang Kementerian Pendidikan Nasional menetapkan siswa yang mengikuti UN juga harus lulus dalam aspek akhlak, budi pekerti, dan tata krama. Di samping itu, siswa harus lulus dalam mata pelajaran yang diujikan sekolah dan menyelesaikan seluruh program pendidikan di sekolah. Perubahan ini diharapkan berarti bagi pelaksanaan UN.
Dianggap manusiawi
Berdasarkan data prestasi siswa secara nasional, kenaikan persyaratan dan standar kelulusan UN ternyata tidak menjadi faktor penghambat lulus UN. Standar kelulusan UN yang terus meningkat, yakni dari 4,25 pada UN tahun 2005/2006 menjadi 5,50 pada tahun 2008/2009 bukan alasan yang tepat untuk menghilangkan UN dari kurikulum nasional.
Apalagi, persentase kelulusan UN rata-rata sudah di atas 90 persen. Dengan ketentuan nilai rata-rata minimal hanya boleh ada satu nilai 4,00 dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lain, UN sudah dianggap manusiawi oleh Kemendiknas.
Menurut Mendiknas, saat ini UN adalah metode yang tepat untuk menguji kompetensi peserta didik. Beliau berpendapat, banyak dampak positif yang didapatkan dari UN daripada dampak negatifnya. Mendiknas melihat hasil UN bukan semata-mata sebagai penentu kelulusan siswa. Namun, UN juga menjadi peta untuk melihat kondisi sekolah yang kurang baik. Lewat hasil UN, pemerintah bisa melakukan intervensi untuk meningkatkan mutu dan kualitas sekolah tersebut.
Perubahan UN 2010 juga dapat dilihat dari tiga tingkatan ujian. Sebelumnya, UN hanya terdiri dari ujian utama dan susulan. Tahun ini UN terdiri dari ujian utama, ujian susulan bagi siswa yang sakit, dan ujian ulang bagi siswa yang tidak lulus dalam ujian utama. Ijazah yang didapatkan siswa dari ujian ulang pun berasal dari sekolah siswa tersebut sehingga siswa tidak merasa disisihkan sebagai siswa yang tidak lulus UN. Hal ini tentu meredakan keresahan siswa akan tidak lulus UN.
Pemajuan pelaksanaan UN pun sebenarnya bertujuan baik, yakni agar siswa yang tidak lulus memiliki waktu untuk mengikuti ujian ulang. Saya menilai hal ini sebagai langkah pemerintah yang tepat untuk memberikan kesempatan kedua bagi siswa yang tidak lulus UN utama. Siswa juga akan lebih tenang dalam mempersiapkan diri menghadapi UN.
Standar kelulusan
Saya rasa, jika UN tetap tidak boleh diadakan dan diharamkan, akan timbul masalah baru di bidang pendidikan Indonesia. Jika sekolah kembali menggunakan standar evaluasi belajar tahap akhir nasional (ebtanas), tidak ada standar yang pasti untuk menentukan kelulusan siswa.
Sekolah bisa saja meluluskan semua siswanya meskipun ada yang tidak memenuhi kriteria kompetensi dasar yang harus dipenuhi. Hal ini patut dihindari karena dapat menjadikan mental siswa dangkal. Siswa tidak belajar dari kesalahan dan tidak tahu sejauh mana penguasaan konsep dasar yang dimilikinya.
Pelaksanaan UN juga harus diawasi ketat oleh tim independen agar praktik kecurangan dapat diminimalisasi. Saya agak menyayangkan pelaksanaan UN tahun 2008 yang pernah saya ikuti. Tim independen hanya berjaga-jaga di luar ruangan, sementara pengawas dan siswa dapat berinteraksi. Keleluasaan ini dapat mendorong siswa untuk berbuat curang, seperti mencontek, menanyakan jawaban kepada pengawas, dan berbagai praktik kecurangan lain. Akhirnya, mental koruptorlah yang timbul dari hati siswa.
Menurut saya, pembentukan tim sukses di sekolah juga kurang tepat. Siswa menjadi berpangku tangan pada tim sukses tanpa berusaha mempersiapkan UN dengan baik. Kelak, di jenjang yang lebih tinggi, siswa tersebut kesulitan mengikuti pelajaran. Pembinaan mental yang baik sebelum UN perlu dilakukan sekolah agar siswa dapat memiliki rasa percaya diri yang tinggi dalam menghadapi permasalahan, seperti UN.
Semoga dengan berbagai perubahan pada UN 2010, UN dapat diselenggarakan dengan baik, lancar, dan memberikan hasil optimal bagi siswa. Dengan waktu yang tersisa, sekolah harus berjuang keras memberikan materi UN kepada siswa.
Saya berharap siswa yang akan mengikuti UN dapat mempersiapkan diri, baik secara fisik maupun mental, dalam menghadapi UN. Tidak mustahil angka 100 persen kelulusan tercapai jika siswa mampu menerapkan prinsip ora et labora. DANIEL HERMAWAN Pelajar SMAK 1 BPK Penabur Bandung Angkatan 2008/2009
Sumber : http://lipsus.kompas.com/ujiannasional/read/2010/02/11/13050622/Ujian.Nasional.di.Mata.Pelajar

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

#GenerasiHarapanBangsa

#GenerasiHarapanBangsa