Gema Sumpah Pemuda
19.52Senin, 01 November 2010 |
TAK terasa kita sudah memasuki 82 tahun perayaan Hari Sumpah Pemuda. Sumpah yang diikrarkan oleh pemuda Indonesia pada Kongres Pemuda Indonesia, 28 Oktober 1928 ini menjadi bukti bahwa persatuan dan kesatuan bangsa merupakan kunci untuk menghapus penjajahan di Indonesia pada masa itu. Pemuda yang terdiri atas berbagai suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) bersatu padu dan bersumpah untuk senantiasa menjaga bangsa, tanah air, dan bahasa Indonesia sebagai identitas persatuan bangsa. Sumpah Pemuda menjadi salah satu indikator keberhasilan bangsa kita dalam mengusir penjajah di Indonesia. Sebelumnya, bangsa kita sangat mudah sekali dipecahbelahkan penjajah oleh konflik antardaerah. Egoisme dan fanatisme kelompok yang berlebihan menjadi penyebab dari banyaknya perang saudara di Indonesia. Tentu bangsa kita tidak memetik keuntungan sama sekali dengan adanya konflik ini. Justru bangsa penjajahlah yang dengan mudahnya merampas dan mengeksploitasi kekayaan bangsa kita. Akhir-akhir ini, gema Sumpah Pemuda di hati masyarakat Indonesia juga mulai meredup. Beragam konflik terjadi di Indonesia, mulai dari tawuran, konflik HKBP di Bekasi, konflik Poso, dan konflik Tarakan. Penyebab konflik ini umumnya hal yang sangat kecil, seperti pemukulan, pengejekan, dan penghinaan pada salah satu anggota masyarakat. Sayangnya, masyarakat Indonesia mudah sekali tersulut dan sangat solider terhadap anggota masyarakat mereka, tak peduli mereka benar atau salah. Akhirnya yang timbul adalah konflik yang membabi buta, bukan penyelesaian terbaik yang seharusnya dilakukan. Kebebasan beragama juga menjadi salah satu problematika kompleks yang dialami bangsa kita. Pembakaran tempat ibadah, prosedur perizinan tempat ibadah yang dipersulit, sentimen warga, dan berbagai ketidakadilan pada kaum minoritas masih menjadi polemik bangsa kita. Hal ini memicu timbulnya golongan pemberontak yang mengatasnamakan agama. Mereka tidak menanamkan nilai-nilai agama dengan baik, namun justru mengatasnamakan agama untuk melakukan kejahatan. Sungguh memprihatinkan, memang. Kepedulian dan rasa cinta tanah air masyarakat Indonesia juga sangat memprihatinkan dewasa ini. Pertukaran budaya yang terjadi melalui media komunikasi akibat perkembangan teknologi di era globalisasi ini telah menggerus mentalitas dan budaya bangsa kita. Sebut saja budaya Jepang dan Korea. Banyak anak muda menggandrungi gaya ini dan menganggap budaya Indonesia itu jadul, kolot, dan ketinggalan zaman. Akhirnya, budaya Indonesia tidak lagi dihargai sebagai warisan bangsa yang tidak ternilai harganya, melainkan menjadi sebuah beban. Tak heran hal ini dimanfaatkan negara tetangga untuk mengambil alih hak cipta budaya Indonesia yang tidak dihargai masyarakatnya sendiri. Sebut saja, tari Pendet dan lagu "Rasa Sayange". Kita melihat sebelum adanya pengakuan budaya oleh negeri tetangga, kita seakan tenang-tenang saja menanggapi hal tersebut. Baru setelah budaya bangsa kita diakui bangsa lain, kita layaknya kebakaran jenggot dan mengutuk perilaku mereka. Padahal kesalahan terbesar justru ada pada diri kita yang tidak mau menjaga dan melestarikan warisan bangsa. Lain halnya dengan bahasa alay yang ditularkan lewat media jejaring sosial dan SMS. Banyak anak muda yang menggemari penggunaan bahasa ini. Akibatnya, pemahaman terhadap bahasa Indonesia yang baik dan benar menjadi luntur. Tren ini juga diduga memengaruhi banyaknya angka ketidaklulusan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia di Ujian Nasional 2010. Ironis memang, bangsa kita tidak bisa menggunakan bahasa ibunya sendiri dengan baik dan benar. Memang begitu banyak pekerjaan rumah (PR) yang masih harus kita kerjakan, baik sebagai pemerintah maupun masyarakat. Kita harus menghidupkan kembali rasa persatuan dan kesatuan yang terpancar pada Sumpah Pemuda. Tentu kita tidak ingin perpecahan timbul karena ulah oknum yang tidak bertanggung jawab. Maka dari itu, mari kita hayati dan amalkan gema Sumpah Pemuda dalam diri kita masing-masing dan bertanya sudah sejauh manakah kita mencintai kemerdekaan bangsa kita. (Penulis, pelajar kelas XII-A IPA, SMAK 1 BPK Penabur Bandung)** Sumber : http://www.klik-galamedia.com/indexnews.php?wartakode=20101101072536&idkolom=opinipendidikan |
0 komentar