Kekayaan Indonesia : Ragam Budaya dan Kultur Aceh
09.39Aceh boleh dikatakan memiliki wisata budaya yang unik dan memiliki ciri khas tersendiri. Hal ini terlihat dari alat musik dan tari tradisional Aceh yang menawan. Tak heran jika berbagai kesenian khas Aceh sering ditampilkan dalam acara kenegaraan dan festival budaya karena tingkat kesulitan dan kekhasan yang dimilikinya.
Alat musik tradisional Aceh bisa kita temukan pada Serune Kalee dan Rapai. Hal ini bisa kita temukan pada Serune Kalee. Surene Kalee adalah instrumen tiup tradisional Aceh, yaitu sejenis Clarinet yang terdapat di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar, dan Aceh Barat. Alat ini terbuat dari kayu, bagian pangkal kecil serta di bagian ujungnya besar menyerupai corong. Di bagian pangkal terdapat piringan penahan bibir peniup yang terbuat dari kuningan yang disebut perise.
Serune ini mempunyai 7 buah lobang pengatur nada. Selain itu terdapat lapis kuningan serta 10 ikatan dari tem¬baga yang disebut klah (ring), serta berfungsi sebagai penga¬manan dari kemungkinan retak atau pecah badan serune terse¬but. Alat ini biasanya digunakan bersama genderang clan rapai dalam upacara-upacara maupun dalam mengiringi tarian-tarian tradisional.
Kita juga mengenal Rapai. Rapai merupakan sejenis alat instrumen musik tradisio¬nal Aceh, sama halnya dengan gendang. Rapai dibuat dari kayu yang keras (biasanya dari batang nangka) yang setelah dibulatkan lalu diberi lubang di tengahnya. Kayu yang telah diberi lubang ini disebut baloh. Baloh ini lebih besar bagian atas dari pada bagian bawah. Bagian atas ditutup dengan kulit kambing, sedangkan bawahnya dibiarkan terbuka. Penjepit kulit atau pengatur tegangan kulit dibuat dari rotan yang dibalut dengan kulit. Penjepit ini dalam bahasa Aceh disebut sidak.
Rapai digunakan sebagai alat musik pukul pada upa¬cara-upacara terutama yang berhubungan dengan keagama¬an, perkawinan, kelahiran, dan permainan tradisional, yaitu debus. Memainkan rapai dengan cara me¬mukulnya dengan tangan dan biasanya dimainkan oleh kelompok. Pemimpin permainan rapai disebut syeh atau kalipah.
Jenis tarian tradisional Aceh sangat beragam dan memiliki ciri khas tersendiri. Kita bisa melihat hal tersebut dalam Tari Ranup Lampuan. Tari Ranup Lampuan adalah salah satu tarian tradisional Aceh yang ditarikan oleh para wanita. Tarian ini biasanya ditarikan untuk penghormatan dan penyambutan tamu secara resmi. Ranup dalam bahasa Aceh yaitu Sirih, sedangkan Puan yaitu Tempat sirih khas Aceh. Ranup Lampuan bisa diartikan "Sirih dalam Puan". Sirih ini nantinya akan diberikan kepada para tamu sebagai tanda penghormatan atas kedatangannya.
Ada juga tarian Likok Pulo yang lahir sekitar tahun 1949 dan diciptakan oleh seorang Ulama berasal dari Arab yang tinggal di Pulo Aceh, yaitu salah satu kecamatan di Kabupaten Aceh Besar. Tarian ini pada hakekatnya adalah zikir kepada Allah SWT dan selawat kepada Nabi Muhammad SAW. Gerakan tarian pada prinsipnya ialah gerakan olah tubuh, keterampilan, keseragaman atau kesetaraan dengan memfungsikan anggota tubuh bagian atas, tangan sama-sama ke depan, ke samping kiri atau kanan, dari depan ke belakang, keatas dan kebawah, dengan tempo yang lambat hingga cepat. Tarian ini membutuhkan energi yang tinggi.
Tak ketinggalan Tarek Pukat yang menggambarkan aktivitas para nelayan yang menangkap ikan dilaut. Tarek yang berarti "Tarik", dan Pukat adalah alat sejenis jaring yang digunakan untuk menangkap ikan.
Selain itu, ada juga Rapa`i Geleng yang pertama kali dikembangkan pada tahun 1965 di Pesisir Pantai Selatan. Nama Rapa`i diadopsi dari nama Syeik Ripa`i yaitu orang pertama yang mengembangkan alat musik pukul ini. Permainan Rapa`i Geleng juga disertakan gerakan tarian yang melambangkan sikap keseragaman dalam hal kerjasama, kebersamaan, dan penuh kekompakan dalam lingkungan masyarakat. Tarian ini mengekspresikan dinamisasi masyarakat dalam syair (lagu-lagu) yang dinyanyikan. Fungsi dari tarian ini adalah syiar agama, menanamkan nilai moral kepada masyarakat, dan juga menjelaskan tentang bagaimana hidup dalam masyarakat sosial.
Terdapat juga Tari Saman yang sangat terkenal dari Aceh. Syair dalam tarian Saman mempergunakan bahasa Arab dan bahasa Aceh ataupun Gayo. Pada masa lalu, Tari Saman biasanya ditampilkan untuk merayakan peristiwa - peristiwa penting dalam adat dan masyarakat Aceh. Selain itu biasanya tarian ini juga ditampilkan untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pada kenyataannya nama "Saman" diperoleh dari salah satu ulama besar Aceh, Syech Saman.
Tari Saman biasanya ditampilkan tidak menggunakan iringan alat musik, akan tetapi menggunakan suara dari para penari dan tepuk tangan mereka yang biasanya dikombinasikan dengan memukul dada dan pangkal paha mereka sebagai sinkronisasi dan menghempaskan badan ke berbagai arah. Tarian ini dipandu oleh seorang pemimpin yang lazimnya disebut Syech. Karena keseragaman formasi dan ketepatan waktu adalah suatu keharusan dalam menampilkan tarian ini, maka para penari dituntut untuk memiliki konsentrasi yang tinggi dan latihan yang serius agar dapat tampil dengan sempurna. Tarian ini khususnya ditarikan oleh para pria.
Kita juga bisa melihat tari Laweut. Sebelum sebutan Laweut dipakai, tarian ini mulanya disebut "Seudati Inong", karena tarian ini khusus ditarikan oleh para wanita. Gerak tarian ini, yaitu penari dari arah kiri atas dan kanan atas dengan jalan gerakan barisan memasuki pentas dan langsung membuat komposisi berbanjar satu, menghadap penonton, memberi salam hormat dengan mengangkat kedua belah tangan sebatas dada, kemudian mulai melakukan gerakan-gerakan tarian.
Keunikan tari Pho juga bisa kita saksikan di Aceh. Perkataan pho yang berasal dari kata peubae yang artinya meratoh atau meratap. Pho adalah panggilan atau sebutan penghormatan dari rakyat.hamba kepada Yang Maha Kuasa yaitu Po Teu Allah. Bila raja yang sudah almarhum disebut Po Teumeureuhom. Tarian ini dibawakan oleh para wanita, dahulu biasanya dilakukan pada kematian orang besar dan raja-raja, yang didasarkan atas permohonan kepada Yang Maha Kuasa, mengeluarkan isi hati yang sedih karena ditimpa kemalangan atau meratap melahirkan kesedihan-kesedihan yang diiringi ratap tangis. Sejak berkembangnya agama Islam, tarian ini tidak lagi ditonjolkan pada waktu kematian, dan telah menjadi kesenian rakyat yang sering ditampilkan pada upacara-upacara adat.
Tari yang tak kalah terkenalnya adalah Tari Seudati. Sebelum adanya Seudati, sudah ada kesenian yang seperti itu dinamakan Retoih, atau Saman, kemudian baru ditetapkan nama syahadati dan disingkat menjadi seudati. Pemain seudati terdiri dari 8 orang pemain dengan 2 orang syahi berperan sebagai vokalis, salah seorang diangkat sebagai syekh, yaitu pimpinan group seudati. Seudati tidak diiringi oleh instrument musik apapun. Irama dan tempo tarian, ditentukan oleh irama dan tempo lagu yang dibawakan pada beberapa adegan oleh petikan jari dan tepukan tangan ke dada serta hentakan kaki ke tanah. Tepukan dada memberikan suara seolah-olah ada sesuatu bahan logam di bagian dada atau perut yang dilengketkan sehingga bila dipukul mengeluarkan suara getar dan gema.
Ada juga upacara Meunineum yang dilakukan pada kehamilan seorang istri. Upacara Meunieum ini ada juga yang dilakukan sewaktu seorang istri hamil setelah 7 bulan. Bahan makanan yang dibawa oleh pihak orang tua si suami adalah Bu Kulah, yaitu nasi putih yang dibungkus dengan daun pisang berbentuk piramid di dalam hidang, Bu Leukat (nasi ketan) untuk pesunting menantu yang sedang hamil, disertai Ayam Panggang dan Tumpou.
Di samping itu, ada juga upacara Peusijuek Dapu (setawar sedingin tempat berdiang) yang dilakukan orang tua dan ahli keluarga dari orang tua suami, yaitu orang tua pihak suami menyunting ketan kepada menantunya yang perempuan dengan uang Teumeutuek dan disertai dengan sepersalinan pakaian. Kita juga mengenal upacara Woe Linto. Upacara ini dilakukan tiga hari sebelum naik pengantin (Woe Linto) terlebih dahulu oleh pihak pengantin laki (Linto) diantar kepada pihak pengantin perempuan (Dara Baro). Sayangnya, jenis upacara ini tidak ditampilkan untuk umum. Wisata budaya yang disajikan di Aceh tentu mampu menimbulkan decak kagum kita terhadap Aceh.
0 komentar